Sekat yang Teramat Kuat
Sebuah gedung hotel berbintang lima
terlihat ramai oleh orang-orang yang berpakaian rapi, banyak bunga-bunga yang
tertata dengan rapi dan juga indah. Di depan gedung terdapat sebuah papan
berukuran satu kali dua meter bertuliskan 'Menikah Ibrahim dan Aleya'.
Nanda, gadis yang
mengenakan gaun khas tamu pada sebuah pesta berdiri sebentar dan menghela napas
seolah ada beban berat yang mengimpit pernapasannya. Dia mencoba menguatkan
diri setelah membaca tulisan tersebut, sedangkan di tangan kirinya terdapat sebuah
undangan berwarna merah bertuliskan nama yang sama.
"Na, udah,
ya. Kita balik saja." Hera yang berada di sampingnya menatap iba pada
sahabatnya.
"Nggak, Ra.
Kita udah di sini, tanggung kalau balik. Aku nggak apa-apa, kok. Beneran,"
ucap Nanda berusaha menyembunyikan luka di hatinya.
Hera tahu bahwa
gadis berparas ayu itu berbohong. "Udahlah, Na. Jangan dipaksa kalau nggak
kuat, kalau mau nangis, nangis aja. Aku siap jadi tempat kamu bersandar. Tapi,
jangan memaksakan diri seperti ini. Aku tahu kamu nggak sekuat yang kamu
katakan. Hatimu menjerit sakit, kan, Na? Udah, kita pulang saja," ujar
Hera.
Nanda kaget saat
menoleh ke arah samping karena sahabatnya telah menangis. Dia pun berkata,
"Hei, kenapa jadi kamu yang nangis, sih? Di sini siapa yang patah hati?
Ah, kau mengacaukan hari patah hatiku saja." Kekehan kecil terdengar dari
mulut Nanda.
Hera menjadi
kesal, tetapi hatinya sedikit lega, setidaknya Nanda benar-benar masih mampu
untuk melihat secara langsung kekasihnya bersanding dengan wanita lain.
"Ayo,
masuk!" Nanda menarik tangan Hera setelah sebelumnya menghapus air mata
gadis itu.
Acara akad nikah
akan segera dimulai, sepasang pengantin telah duduk di tempat yang telah
disediakan. Semua orang yang ada di gedung itu menjadi tenang ketika
mendengarkan suara mempelai pria mengucapkan ijab kabul dengan lantang dan
dalam satu tarikan napas.
Tepat saat itu
juga, air mata Nanda menetes tanpa diminta bersamaan dengan kata 'SAH' yang
terdengar. Gadis itu terisak tanpa suara.
Hera yang melihat
itu langsung memeluk dan mengelus punggung gadis yang masih mengeluarkan air
mata tersebut. "Sabar, Na," bisiknya yang dibalas anggukan oleh
Nanda.
Beberapa rangkaian
acara telah selesai, kini tibalah saatnya para tamu menyalami pengantin.
"Selamat,
ya," ucap Nanda seraya menjabat tangan istri Ibra.
Saat berada di
hadapan Ibra, keduanya hanya diam saling memandang. Ada sejuta rasa yang hadir
di hati Ibra, tetapi tak mampu dia utarakan. Ingin rasanya dia memeluk tubuh
gadis yang dicintainya itu. Merengkuh tubuh rapuh yang saat ini berusaha tegar
di hadapannya. Dia tahu bahwa Nanda menangis, terlihat dari matanya yang merah
dan sedikit sembab.
Aleya merasa heran
mengapa suaminya itu menatap gadis di hadapannya dengan tatapan sulit dia
artikan. Namun, dia tetap diam dan membiarkannya. Mungkinkah mantannya Ibra?
Jika benar, semoga saja Ibra tidak akan menyakitiku dengan kembali kepada
perempuan ini. Saat ini aku biarkan kalian berdua menyelesaikan, apa yang harus
kalian selesaikan, batinnya.
"Selamat atas
pernikahanmu." Nanda menjeda sedikit ucapannya, menghirup oksigen
sebanyak-banyaknya untuk menguatkan diri. "Nggak nyangka, ya. Kita
akhirnya bertemu juga di pelaminan, sesuai katamu dulu," kata Nanda yang
langsung menunduk tak mampu melanjutkan ucapannya.
"Na," ucap
Ibra lirih memanggil Nanda. Hatinya tak kuasa melihat gadis pujaannya menunduk
sambil menangis.
Nanda mendongak,
menatap wajah tampan yang kini berpakaian baju pengantin dengan lelehan air
mata yang dia biarkan jatuh begitu saja menyentuh karpet hijau. Dia tersenyum,
berusaha kuat seraya berkata, "Nggak nyangka, ya, Ibra. Kupikir kita akan
ketemu di pelaminan sebagai sepasang pengantin seperti impian kita dulu. Tapi
ternyata ... hanya kamu yang jadi pengantin dan aku tamu undangan. Sekali lagi,
selamat."
Setelah
mengucapkan itu, Nanda berlari ke luar, menerobos banyaknya tamu undangan. Dia
sudah tak peduli lagi dengan panggilan Hera. Tujuannya saat ini hanya satu,
yaitu mengeluarkan semua sesak yang mengimpit dadanya.
Sementara Ibra
memandang punggung gadis yang selama tiga tahun ini mengisi hatinya dengan
pandangan sendu. Tanpa dia minta, air matanya pun jatuh membasahi pipinya.
Sekat antara dirinya dan Nanda sangatlah kuat sehingga membuat orang tuanya
harus menjodohkannya dengan wanita lain.
Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia dua keluarga, kini menjadi hari patah hati sepasang anak adam.
***
"Aaa! Tuhaaan, kenapa harus
sesakit ini untuk merelakan dia dengan orang lain?! Kenapa, Tuhan?"
Saat ini, Nanda
berada di sebuah jembatan yang berjarak sekitar dua ratus meter dari lokasi
pernikahan Ibra. Dia menangis sejadi-jadinya di sore itu, tak peduli dengan
tatapan orang-orang kepadanya.
Setelah puas
menangis, dia berjalan tak tentu arah. Mengabaikan deringan ponsel yang ada di
tasnya. Hari mulai gelap, matahari akan kembali ke peraduan. Namun, Nanda masih
terus berjalan hingga langkahnya membawa dia ke sebuah taman.
Suasana taman
tampak belum terlalu ramai, Nanda duduk di salah satu kursi taman sambil
termenung. Tuhan, mengapa engkau harus hadirkan cinta jika sekat antara aku
dan dia begitu kokoh? Mengapa harus perbedaan agama yang menjadi pemisah di
antara kami, Tuhan? Aku sangat ingin bersamanya. Namun, aku tidak mungkin
mengambil dia dari Tuhannya. Mengapa harus sedalam ini aku menyelam di lautan
perasaanku padanya? lirih Nanda dalam hati.
Air mata gadis itu kembali mengucur deras mengingat kisah cintanya yang harus kandas di tengah jalan. Dia ingin menyalahkan takdir, tetapi salah atau benar semua sudah terjadi.
***
Terik matahari terasa menyengat
kulit, seorang wanita cantik berpakaian modis duduk sendirian di salah satu
meja restoran yang menghadap langsung ke arah jalan.
Sudah satu tahun
sejak hari di mana hatinya benar-benar hancur melihat Ibra—kekasihnya—menikah
dengan wanita lain. Saat ini, dia sedang menunggu sahabatnya yang tak lain
adalah Hera.
"Nanda!"
seru seseorang yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk.
Nanda tersenyum
melihat sahabatnya yang dia tinggalkan setahun lalu. Keduanya langsung
berpelukan melepas rindu yang selama ini tertahan.
"Na, aku
kangen banget tahu nggak? Kamu dari mana saja? Kenapa baru terlihat sekarang?
Kenapa waktu itu kamu menghilang? Aku sudah nyariin kamu ke semua tempat
favorit kita, tapi kamu nggak ada. Kamu pergi ke mana selama setahun ini?"
tanya Hera beruntun. Air matanya luruh seketika kala mengingat hari di mana
sahabatnya itu pergi entah ke mana, lalu menghilang bak ditelan bumi.
"Aku akan
ceritakan, sekarang kamu duduk dulu," ajak Nanda.
Nanda tersenyum,
lalu berkata, "Maaf, aku membuatmu khawatir, Ra. Aku tidak bermaksud
seperti itu. Tapi, aku butuh waktu untuk sendiri." Nanda menjeda
kalimatnya, sementara Hera menunggu sahabatnya itu kembali melanjutkan
perkataannya.
"Aku pergi ke
Lampung, tempat aku lahir dan dibesarkan. Aku mengunjungi makam orang tua dan
juga kakakku di sana. Aku ... kangen sama mereka. Dulu ... saat aku kecil, Ayah
sama Bunda akan memarahi siapa saja yang berani membuat aku menangis. Tak
jarang Kakak juga ikut memarahi mereka. Makanya aku dipanggil anak yang manja.
Sekarang, semuanya berubah, Ra. Sudah tidak ada orang yang melindungi aku
seperti mereka sejak kecelakaan itu. Aku sendiri, aku kesepian. Di antara
dinginnya malam, aku tak tahu harus berbuat apa."
Aku terkurung di
antara riuhnya suara orang-orang yang mengatakan akulah penyebab kematian
keluargaku. Aku tidak tahu alasan di balik mereka menyebutku seperti itu bahkan
sampai detik ini. Namun, semua sudah kuanggap berlalu bersama badai besar yang
kemarin sempat menerjang. Aku bisa belajar dari semua itu bahwa hidup harus
terus berjalan selagi nyawa masih bersama kita dan cinta, tidak harus berakhir
bahagia, 'kan?" Nanda mengakhiri ucapannya dengan senyum yang merekah.
"Na,"
panggil Hera pelan. Matanya berkaca-kaca melihat sahabatnya begitu kuat
menceritakan sedikit kisah hidupnya.
"Ayolah, Ra.
Hari ini aku kembali bukan untuk melihatmu menangis. Aku sudah bersusah payah
menahan air mataku, tapi dirimu malah membuat aku ingin menangis."
Keduanya saling
berpelukan sambil menangis dan tertawa bersama. Mengabaikan tatapan orang-orang
yang berada di restoran itu, termasuk Ibra dan istrinya yang baru saja memasuki
restoran dengan tangan saling bertautan.
Masih dalam
keadaan saling berpelukan, Nanda melihat keduanya. Rasa cintanya masih ada
untuk lelaki yang berdiri di depannya bersama wanita yang tengah berbadan dua.
Semudah itu namaku
tersingkir di hatimu, Ibra. Dalam waktu satu tahun kau mampu kembali ke daratan
dari dalamnya lautan perasan yang kita buat. Sementara aku, masih tenggelam dan
bahkan malah menyelam terlalu dalam sendirian. Mungkin memang jalan takdir kita
seperti ini, berbahagialah. Maaf, jika hati ini masih ada namamu yang tidak
seharusnya ada di sana, sebab aku tak sekuat wanita dalam novel atau wanita dalam
sinetron. Aku ... akan berusaha semampuku menghapus namamu,
batin Nanda.
Tanpa diketahui oleh Hera bahwa ada Ibra dan Aleya di tempat itu. Begitu melihat pasangan itu duduk menjauh, Nanda langsung mengajak Hera untuk pergi dengan alasan mencari tempat yang sedikit lebih cocok untuk mereka meluapkan kerinduan.
Nanda, semoga kamu
bisa memaafkan aku atas luka yang telah kutorehkan di hatimu. Seandainya kamu
tahu, hati ini ... masih milikmu, Nanda Anindita.
Ibra menatap kedua gadis yang baru saja keluar restoran itu dengan tatapan
sendu.
–TAMAT–
Komentar
Posting Komentar