Abi Ingin ke Gaza
Karya: Lencana Langit
Salah
satu desa terluar di kabupaten Cirebon itu baru beberapa kali diguyur hujan.
Abi memilih tak keluar rumah, meski berulangkali Indra mengajaknya bermain
hujan-hujanan. Turunnya hujan adalah penawar rindu bagi tanah pesawahan dan
tambak yang telah lama mengering. Petrichor,
aroma khas tanah kering yang terguyur hujan menjadi candu bagi pertiwi. Dari
jendela rumah Abi, beberapa anak tampak berlarian memperebutkan bola sepak yang
dibawa Indra ke tanah lapang. Para orang tua di komplek tersebut memang membiarkan
anaknya hujan-hujanan selagi tidak ada petir.
Anak
kelas 3 SD itu tengah asyik bersila di ruang keluarga. Layar 21 inch di
depannya sibuk menayangkan berita pengiriman bantuan kemanusiaan bagi rakyat
Palestina. Panglima seragam loreng mengerahkan dua pesawat Hercules C-130 TNI
AU dan melibatkan 44 personel TNI. Ada rasa bangga mencuat di hati si anak
mungil itu meski bukan ayahnya yang ditugaskan ke Gaza.
Ayahanda
Abi sudah 2 tahun ini bertugas menjaga pos pengamanan perbatasan paling timur
di Sebatik, Kalimantan Utara. Indonesia-Malaysia sepakat mengukur ulang dan
menentukan lokasi patok perbatasan yang saat ini masih berstatus Outstanding
Boundary Problem (OBP) atau perbatasan tumpang tindih.
***
“Bu,
Abi pengen ke Gaza. Kasihan adik-adik di sana.” Empat hari yang lalu Abi
terus saja merengek untuk mengunjungi Gaza.
Gaza
Utara, Jabalia, kini tengah menikmati serangkaian kehancuran. Orang-orang
berkerumun menggali harapan, sanak-saudara masih tertimbun di dasar reruntuhan.
Anak-anak menangis ketakutan, beberapa di antaranya terluka parah. Namun yang
paling memilukan bagi Abi adalah menyaksikan anak-anak yang terluka sekaligus
kehilangan seluruh keluarganya. Sementara Netanyahu, Perdana Menteri Israel
bahkan menolak seruan “jeda kemanusiaan” untuk pengiriman bantuan darurat bagi
warga Gaza. Ia justru berjanji melanjutkan rencana memusnahkan Hamas meski
korban sipil dan anak-anak terus berjatuhan. Abi tak bisa membayangkan,
anak-anak yang harus menjalani operasi medis tanpa anestesi akibat stok obat
yang sudah habis. Ia teringat saat tungkai kakinya harus dijahit akibat luka
robek, beberapa bulan yang lalu. Abi meraung ketakutan, meski sudah dibius
lokal.
“Abi
mau ngapain di sana?” Ibunda Abi yang seorang guru TK menghampiri
sembari berlutut menyejajarkan diri.
“Abi
mau melindungi adik-adik di sana. Kasihan, Bu!” Banyu mata Abi yang baru saja
menyaksikan berita pengeboman kamp pengungsi Jabalia itu, menganak sungai di
wajah lugunya.
Merasa
tak mendapat jawaban dari sang ibu, Abi lantas menyambar gawai milik ibunya
yang tergeletak di samping layar datar tersebut.
“Ayah
kan punya helikopter, antarkan Abi ke Gaza sekarang juga!” Kini sang ayah yang
menjadi sasarannya.
“Abi
anak ayah yang saleh, kita tunggu waktu yang tepat ya, Nak! Nanti kita bisa
kirim bantuan ke sana. Abi doakan saudara-saudara kita di sana ya!” Abi tak
lagi merengek, meski isak tangisnya masih terdengar di telinga sang ayah dari
ujung telepon.
Bocah
perawakan mungil itu memang mudah berempati, terlebih jika melihat anak-anak
kecil menangis. Pernah suatu ketika, Abi kedapatan menyuapi permen loli pada
bayi tetangga yang saat itu hanya dijaga sang kakak di depan rumahnya. Ibu bayi
yang baru saja keluar dari toilet sontak melototin Abi. Ia segera berlari pulang. “Kasihan
adiknya nangis ajah, Bu!” begitu katanya.
Jarum
jam belum menunjukkan pukul 8 malam, Abi tak nampak keluar kamar lagi sejak
waktu magrib tiba. Tiga kali ibu mengetuk pintu kamar. Hening, tak ada sahutan
dari penghuni di dalamnya. Knop pintu kamar diputar, ibu mendapati Abi tengah
meracau. Meski pelan, ibu dapat mendengar dengan jelas ucapan yang keluar dari
anak semata wayangnya itu.
“Gaza,
Abi ingin ke Gaza. Abi ingin ke Gaza.” Kalimat tersebut dirapalkan Abi dalam
tidurnya,. Ibu yang sudah paham dengan kondisi itu, segera mengompres area
leher, dada, ketiak, dan dahi Abi dengan air hangat. Begitulah yang pernah
disarankan dokter anak langganannya saat Abi terserang demam.
Cahaya
mentari mulai merangkak naik, menjejaki daun-daun kering yang terbakar teriknya
tanpa ampun. Abi belum cukup pulih untuk bersekolah. Demam psikogenik yang
dialami Abi, membuat sang ibu harus selalu berada di sampingnya. Bukan obat
pereda demam solusinya, tetapi kecemasan berlebihan yang harus segera
ditangani. Selepas menyuapi Abi semangkuk bubur sop ayam, ibu lantas
menceritakan sejarah singkat Palestina, Negeri Para Nabi yang telah tercatat
dalam Al-Qur’an.
“Lantas,
kenapa warga Palestina tidak mengungsi ke negara lain saja, Bu?”
“Nak,
kamu tahu negara kita juga pernah dijajah bangsa lain?” Abi mengangguk.
“Apakah
saat itu warga Indonesia mengungsi ke negara lain?” sambung ibu yang dibalas
Abi dengan gelengan kepala.
“Ayahmu
saat ini sedang bertugas di daerah perbatasan untuk menjaga keutuhan NKRI, agar
tanah kita tidak diambil alih oleh negara lain. Begitupun dengan warga
Palestina. Mereka tidak akan menyerahkan bumi Palestina ke tangan Israel.”
“Tapi
Abi tetap ingin ke sana, Bu!” Abi masih saja bersikukuh.
“Kita
tidak dapat ke sana, pasukan Israel memperketat pertahanan di jalur Gaza.
Listrik dan internetpun diputus agar Palestina semakin terisolir.” papar ibu.
“Lalu
gimana dong, Bu?”
“Kamu
jangan khawatir, negara kita dan negara lainpun tidak akan tinggal diam.” sahut
ibu. Abi berlalu menuju kamarnya dengan wajah yang masih tertekuk. Ibu
mengamati kedua bahu Abi yang turun-naik lalu menghilang di balik pintu kamar.
Ibu merasa khawatir dengan kondisi psikis Abi.
“Ini
untuk adik-adik di Gaza.” Abi menyerahkan celengan yang telah terisi penuh. Ia
mengisi celengan tersebut sejak dua tahun yang lalu dari sisa uang sakunya.
“Masyaallah,
Abi…” Ibu menenggelamkan wajah abi dalam dekapannya. “Kita donasikan tabunganmu
untuk mereka, ya! Abi jangan lupa untuk selalu mendoakan mereka.” Abi
mengangguk setuju dan tak lagi banyak bertanya.
***
Sejak
tersiar berita tertanggal 4 November mengenai pengiriman bantuan itu, kesehatan
Abi berangsur membaik. Ia yakin, Allah akan melindungi adik-adik di Gaza.
Hari
ini Abi kembali ke sekolah. Indra, teman sebangkunya selalu mampir ke rumah
untuk berangkat bersama. Mereka tampak akrab, sesekali keduanya saling melempar
tawa, entah apa yang mereka bicarakan. Anak-anak di Gaza mungkin telah lupa
terakhir kali mereka berkelakar dengan temannya.
Dari
kejauhan ibu melihat pintu rumahnya telah terbuka. Ia merasa ada yang tak beres
siang itu. Lekas dipacu roda duanya menuju teras rumah. Rupanya Abi telah
pulang lebih dulu diantar Bu Ratna, wali kelasnya.
Ibu
terkejut melihat penampakan wajah Abi yang lebam di area pelipis kanannya.
“Bukankah Abi sudah berjanji akan menjadi anak baik?” Ibu bermonolog dalam
hati.
“Bukan
Abi, Bu!” Abi mencoba menjelaskan.
“Ibu
ambilkan obat dulu.” sahutnya sambil berlalu.
Dengan
hati-hati ibu membersihkan luka dan mengompres lebamnya. Sesekali Abi terdengar
meringis kesakitan.
“Abi
adalah pahlawan, Bu!” Bu Ratna memulai
percakapan. “Abi menyelamatkan Indra dari percobaan pemalakan yang dilakukan
kakak kelasnya. Ia mengajak Indra untuk segera lari. Namun sayang, tangan Abi
dicekal sementara Indra berhasil lari dan mencari bantuan. Saat kami datang,
pelaku sudah melarikan diri. Namun kami tahu siapa pelakunya. Kepala sekolah
saat ini sedang berada di rumah pelaku.” papar Bu Ratna sedikit cemas. Ia tahu,
ayahnya Abi adalah seorang tentara. Kasus ini bisa saja dibawa ke pihak
berwajib dan nama baik sekolah turut dipertaruhkan.
“Bu
Ratna, kejadian ini berlangsung di lingkungan sekolah. Oleh karena itu, saya
serahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah untuk ditindaklanjuti. Saya siap
mendukung upaya sekolah, agar kejadian ini tidak terulang kembali.” sahut
ibunda Abi tanpa bermaksud untuk menyudutkan pihak sekolah.
Setelah
mengucapkan permohonan maaf, Bu Ratna pamit untuk kembali ke sekolah. Ibu
menghampiri Abi, mengolesi heparin sodium pada permukaan kulit yang lebam.
Salep tersebut terbilang ampuh untuk mengobati lebam.
“Abi, jadilah anak yang kuat dan punya banyak kemampuan. Bukan untuk menjahati yang lemah, tetapi untuk membantu sesama. Kelak, bisa saja Abi menjadi penyelamat bagi banyak orang termasuk anak-anak di Gaza!” seru sang ibu. Abi mengangguk tersenyum. Sinar matanya terpancar tekad yang kuat. Ia ingin menjadi penyelamat, terutama untuk anak-anak di Gaza.
Komentar
Posting Komentar