Gangguan Arwah Anak Tiri

Karya: Fatimah

"Jangan, aku nggak mau! Pergiiiiiiiiiiii!" teriak Santi histeris, sebelum akhirnya dia terjaga dari mimpi buruknya.
"Kamu mimpi lagi?" tanya Hendra juga tidak kalah paniknya.

Segera Hendra mengambil air di meja yang berada sebelah kiri tempat tidur mereka. Dengan tangan gemetar masih menahan takut, Santi mengambil gelas dari tangan suaminya dan langsung minum sampai habis. 

Peluh terlihat membasahi wajah dan tubuhnya yang masih tegang. Kemudian dia memeluk erat Hendra. 
"Mas, aku takut sekali."
"Sudahlah itu hanya mimpi. Yuk, kita tidur lagi." ucap Hendra lembut menenangkan istrinya.

***

Sudah tiga hari ini, Santi mendapatkan mimpi buruk yang sama. Dalam mimpinya, ada sesosok bayangan yang mencoba menyeret Santi secara paksa untuk mengikuti bayangan tersebut. 

Bayangan itu hadir, mengingatkan pada seseorang yang tidak asing bagi Santi. Perawakannya yang sedang, dengan sorot mata yang dingin. Santi bergidik ngeri. Mungkinkah?

Setelah mempersiapkan keperluan kerja Hendra untuk berangkat ke kantor, Santi berangkat ke rumah Rena, sahabatnya.

***

Dulu Santi bekerja satu kantor dengan Hendra, tetapi semenjak mereka menikah dia berhenti karena permintaan Hendra. 
Kebetulan Hendra merupakan seorang duda yang mempunyai seorang putri. 

Calista Dewi Putri, anak perempuan semata wayang Hendra yang sudah lama sakit-sakitan. Menurut informasi teman-teman kantor Santi, Putri panggilan anak Hendra, seperti terganggu jiwanya sejak ibunya meninggal.

Sudah tiga tahun yang lalu istri Hendra meninggal, dan sejak saat itu Putri seakan kehilangan arah. Anak yang masih duduk di bangku kelas dua SMP tersebut kesehariannya hanya memiliki pandangan kosong. Limpahan kasih sayang Hendra dan Bi Inah, pembantu mereka tidak jua mengubah luka batin Putri.

Selama itu, Bi Ina lah yang merawat Putri. Bukan sekali, dua kali membawa anaknya mengikuti terapi ke psikiater dan dokter, tetapi belum ada perubahan sikap ataupun kesehatan Putri. Dalam kesunyian hidupnya, jiwa Putri seakan haus dahaga kasih sayang Mamanya. Hal ini berimbas pada fisiknya yang semakin lama semakin kurus, karena pola makan yang tidak tentu.

Bi Inah, merawat Putri sepenuh hati. Sudah lama dia bekerja pada keluarga Hendra, jauh sebelum Hendra menikah dengan istri pertamanya. Bagi Bi Inah, keluarga ini sudah menjadi bagian dari hidupnya, karena perlakuan Hendra yang sangat menghormati pekerjaannya.

***

"Kenapa, San? Sepertinya ada yang serius." tanya Rena melihat Santi ketakutan.
"Aku takut banget Ren!" suara Santi bergetar menahan takut.
"Memangnya ada apa. Ceritakan pelan-pelan."
"Dia datang lagi, Ren. Tadi malam dia hadir lagi. Aku … aku … Ah" tak kuasa Santi menutupi wajahnya yang mulai menegang mengingat mimpi buruknya.
"Dia datang, dengan kemarahan dan menyeretku untuk ikut pergi dengannya. Bagaimana kalau itu nyata Ren. Bagaimana, Hu … hu … " tangis Santi pecah kembali memeluk Rena.
"Maksudmu hantu Putri? Itu kan hanya mimpi. Lagian masak orang yang mati bisa hidup lagi. Kamu yang tenang ya." Rena mencoba menghibur sahabatnya.
"Temani aku ke orang pintar Ren. Aku sungguh takut kalau mimpi itu terjadi."
"Oke, oke. Tapi kamu tenang dulu ya."
Akhirnya, Santi menghabiskn hari di rumah Rena. Sore, baru pulang.

***

Sudah lama Santi memendam rasa dengan Hendra, atasannya di kantor. Lelaki tampan, bersahaja yang membaur dengn semua karyawan tidak terkecuali dengan Santi.

Santi tahu kalau ingin memiliki Hendra adalah mustahil, karena Hendra sudah memiliki keluarga lengkap. Ada istri dan anaknya. Tapi cinta memang buta. Rasa itu tetap menyubur di hati Santi. Hingga berita kepergian Rohana, istri Hendra sampai ke kantor. Rohana meninggal karena terkena kanker payudara. Sudah melakukan operasi pengangkatan, tetapi belum menghentikan sel kanker yang sudah menyebar hingga kematian akhirnya menjemput.

Berita ini sangat menggembirakan bagi Santi. Peluang untuk mendapatkan perhatian belahan jiwa akhirnya terbuka. Perhatian kecil Santi, kepada Hendra dan putrinya yang ada di rumah mulai mewarnai keseharian Hendra. 

Tidak peduli pandangan dari teman sekantor, Santi terus berusaha untuk menggapai mimpinya. Hingga keajaiban itu terjadi. Hendra luluh, setelah melihat ketelatenan Santi mendekati Putri yang jiwanya sedang labil. Santi akhirnya resmi menjadi Nyonya Hendra dan tinggal di istana mewah milik Hendra.

Bahagia yang didamba Santi memang terwujud. Status Nyonya Hendra yang disandang ternyata bukan kebahagiaan hakiki yang diimpikan. Keadaan Putri yang jiwanya labil, serta kondisi kesehatan yang tidak menentu membuat jiwa Santi ikut merasa lelah. Apalagi Hendra lebih fokus dengan anak semata wayangnya itu. Ketika tidak berada di kantor, maka seluruh perhatian akan tercurah kepada Putri. Pupus sudah, harapan Santi ingin menjadi ratu yang disayang dan dimanja oleh Hendra. Hal ini menimbulkan percik kecemburuan yang akan berakhir tanpa disadari Hendra atau anggota keluarga yang lain.

***

"Bi, Mbak Putri sudah makan dan minum obat?" tanya Santi pada Bi Inah.
"Sudah Bu. Itu Mbak Putri lagi berjemur di teras depan." jawab Bi Inah takzim.
"Ya, Bi. Biarkan saja. Sinar mentari bagus untuk kesehatannya."
"Mari, Bu. Bibi mau mencuci dulu."
Bi Inah meninggalkan Santi yang terpaku diam memandang Putri. Tekadnya sudah bulat untuk menyudahi drama yang dilakukan Putri setiap hari. Kadang mengamuk, histeris dan tidak jarang pula diam mematung sampai waktu yang lama. 
'Aku berhak bahagia dengan Mas Hendra. Tanpa kamu Put.' desis hati Santi.

Hendra begitu yakin dengan istri barunya. Dia tidak menyadari ketika di malam hari Putri tidur dengan nyenyak, hingga tidak berulah sama sekali. Bi Inah juga senang karena bisa beristirahat dengan tenang, daripada hari-hari biasanya. 

Tanpa mereka sadari, Santi mengendap masuk kamar Putri di waktu dini hari memastikan bahwa anak itu masih tertidur. Ternyata obat tidur yang dicampurkan tadi sore memang mujarab. Santi menatap lekat gadis tirus tersebut. Hanya karena obat-obatan dari medis dan terapi yang membuat Putri bisa bertahan dalam ruang imajinasi.

'Malam ini akan berakhir. Akan aku antarkan kau menemui Ibumu, Nak' dengan sekali hentak bantal di kasur berpindah ke wajah Putri. Sesaat mata Putri terbelalak ketika napasnya tertahan. Mata mereka beradu, karena rasa takut menyergap, akhirnya Santi membenamkan kembali bantal tersebut hingga Putri benar-benar meregang nyawa. Setelah memastikan Putri tiada, Santi beringsut perlahan menuju kamarnya. Mendekati Hendra yang masih pulas tertidur, lalu memeluk suaminya seakan tidak terjadi apa-apa.

***

Kesedihan nyata terlihat di mata Hendra. Berulang kali dia mengusap air matanya, saat para takziah berdatangan untuk ikut berbela sungkawa. 

Santi juga tidak lupa berperan, seolah ikut kehilangan Putri. Sembab matanya oleh bawang tadi pagi melengkapi adegan yang dilakoni. Banyak petakziah berbisik-bisik akan kematian Putri. Namun, Santi tidak ambil pusing. Baginya sekarang sudah lega hatinya, karena penghalang kebahagiaan sudah tidak ada lagi.

Malam harinya, ada pengajian untuk Putri. Hendra mengundang Pak Ustadz dan tetangga sekitar untuk mendoakan. Santi dibantu warga sekitar menjamu para tamu yang ikut mengaji. Setelah tujuh hari, rutinitas tersebut berhenti. Nanti akan dilanjutkan lagi setiap malam Jumat, sebelum 40 hari meninggalnya Putri. Itulah kebiasaan yang ada di kampung ini.

Sejak kepergian Putri, Hendra menjadi pemurung. Namun, Santi terus menghibur suaminya hingga keadaan menjadi normal seperti biasa. Santi sangat menikmati kehidupan barunya ini, sebelum akhirnya mimpi-mimpi itu menghantui, membuat hidup Santi kembali terganggu.

***

Atas saran Rena, Santi pergi ke rumah Mbah Gondo. Entah darimana Rena mendapatkan informasi ini, yang kelas Santi percaya pada sahabatnya itu.
Sore ini, Santi menuju lokasi yang diberikan Rena. Karena Rena ada acara sendiri, sehingg tidak bisa menemani Santi.

Setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk, Santi berada di ruangan Mbah Gondo. Semerbak kemenyan dan melati menusuk hidung. Ruangan tersebut diterangi lampu yang temaram. Hiasan kepala kerbau yang berbau amis di sudut menambah kesan angker.

Asap yang meliuk memenuhi ruangan, membuat Santi ingin muntah. Menyesal tadi tidak menunggu waktu senggang Rena, agar ada yang menemani. 
"Kamu yng bernama Santi, ya." suara berat Mbah Gondo yang tiba-tiba saja muncul di depan Santi tanpa tahu kapan datangnya. 
"Ya … ya Mbah." jawab Santi kaget. 
"Kamu sudah siapkan maharnya?" tanyanya lagi.
" Ini Mbah." Santi mengangsurkan amplop yang sudah dipersiapkan. 
"Baiklah, bawalah bungkusan ini. Taburkan ke sekeliling kamar sebelum engkau tidur. Minum air yang telah aku jampi-jampi agar arwah itu tidak mengganggu tidurmu lagi."
"Ya Mbah. Terimakasih. Saya pamit."
"Oh, aku lupa. Rapalkan mantra ini setelah engkau minum air jampi itu." Mbah Gondo mengangsurkan secarik kertas lusuh.

Setelah selesai urusan dengan Mbah Gondo, Santi bergegas pulang. Santi menuruti setiap perkataan Mbah Gondo. Akhirnya dengan tenang Santi tidur di samping Hendra.

Malam ini sangat dingin. Santi memeluk erat suaminya. Hendra juga membalas pelukan Santi. Tapi ada yang aneh, dari pelukan Hendra. Bukan kehangatan yang didapatkan, namun dingin semakin mencekam menyelimuti tubuh Santi. 
"Mas." dengan takut-takut Santi melirik Hendra yang kini menghadap wajahnya.
"Hmmm." bukan suara Hendra. 
"Ada apa Bu." suara perempuan.
"Ka … ka … mu." tercekat suara Santi. 
Secepat kilat Santi turun dari ranjang dan merapat ke dinding.
"Ya Bu. Kan Ibu yang memanggil Putri tadi sebelum tidur." senyum Putri menyeringai menyeramkan. 
"Tidaaaaaaaak. Pergiiiiiiiiii." jerit Santi.
"Ada apa San. Apa yang terjadi." suara Hendra menyadarkan Santi. 
"Ti … dak Mas." lemah Santi menjawab suaminya. 
Segera diraihnya minum yang ada di samping tempat tidur mereka. 
Masih dengan napas memburu karena tegang, Santi tidur membelakangi Hendra.

Pagi harinya setelah Hendra pergi ke kantor, Santi bermaksud untuk menelpon Rena. Hingga ada pesan WA yang masuk dengan nomor yang tidak dikenal.
"Maaf, Bu. Mantra yang aku kasih itu salah. Mestinya yang ini,"
Satu notif lagi di bawahnya. Sebuah tulisan dengan huruf aksara Jawa campur Arab yang tidak bisa dipahami Santi.
"Jika ingin tahu bacaannya kirimkan sejumlah uang di sini ya."
Sejumlah nominal uang dan nomor rekening masuk ke pesan selanjutnya.
"Dasar dukun kampret." maki Santi gusar.

Bancar, 27 Juni 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Frasa Endosentris dalam Kehidupan Sehari-Hari

Mengenal Apa Itu Akreditasi?

Mentari di Balik Awan