I Wanna Be An Explorer

Karya: Dewi Mulidyawati

Sore hari, gemercik sungai mendayu-dayu, semilir angin membuat udara sekitar tambah sejuk dibuatnya. Kelana sedang merawat Ibunya yang terbaring lemah tak berdaya, Ibu Surti sudah dua minggu tergolek di ranjang kayu beralaskan kasur kapuk yang sederhana.

Ayah sudah satu bulan lamanya belum kembali dari tugasnya mengawal seorang puteri raja bernama Sendayu. Ayah Kelana yang bernama Bapak Sakur memang seorang abdi di sebuah istana yang megah milik seorang Raja yang arif, sang Baginda Raja Kedas di kerajaan Witaru.

Kelana dengan lemah lembut merawat Ibunda, sesekali ia mengompres kening wanita yang telah melahirkannya dengan susah payah itu dengan air hangat. Di samping ranjang ada meja yang penuh dengan obat-obatan herbal. Anak laki-laki yang berperawakan tinggi dan mempunyai rambut ikal tersebut memang telah memanggil seorang tabib dari desanya untuk memeriksa kondisi sang ibu.

“Ibu, mari makan dahulu buburnya,” Ucap Kelana sambil memegang mangkuk di tangannya dan bersiap menyuapi sang Bunda.

“Ma-afkan Ibu, ya Nak, kamu jadi repot seperti ini,” ujar Ibu dengan terbata dan lemah.

Bibir Ibu Surti tampak pucat dan mengering, Kelana tidak tega melihat keadaan Beliau.

“Tidak Ibu, sama sekali Kelana tidak merasa keberatan, yang penting Ibu lekas sembuh,” doa teriring melalui mulut anak semata wayang pasangan Ibu Surti dan Bapak Sakur itu.

Setelah selesai menyuapi ibunya bubur dan meminumkannya obat, Kelana tiba-tiba teringat sesuatu. Ayahnya sebelum pergi meninggalkan sepucuk surat untuknya, ia belum sempat membacanya karena lupa, ia hanya menaruhnya di dalam lemari pakaiannya saja. Segera Kelana beranjak setelah dilihatnya Ibu tengah tertidur pulas dan mengambil surat tersebut serta langsung membacanya.

“Kelana anakku, Ayah berangkat pergi bertugas dulu untuk menunaikan kewajiban sebagai punggawa istana. Ayah titip Ibumu, jaga beliau dengan baik ya Nak, mengenai keinginanmu untuk menjelajahi dunia, Ayah sangat mendukung dan mendoakan agar semuanya dipermudah oleh Gusti Allah. Ayah punya sesuatu untukmu dan sudah lama disimpan di dalam gudang. Kalau ada apa-apa dan mendesak sehingga engkau harus pergi jauh ke luar, titipkanlah Ibumu kepada Mesya ya Nak. Dia anak yang baik, Ayah yakin dia bisa dipercaya.” (Mesya adalah anak paman Kelana yang bernama Ndaru dan telah terbiasa hidup seorang diri karena sudah lama ditinggal oleh kedua orang tuanya karena kecelakaan). Begitu isi surat yang dibuat oleh Ayah Kelana sebelum pergi. Kelana segera melipat surat tersebut dan bergegas menuju gudang tua di sudut rumahnya yang sudah lama tidak ia sambangi.

Rasa penasaran berkecamuk di dada Kelana, kini ia sudah berdiri di depan pintu gudang yang sedikit terbuka. Ia pun melangkahkan kakinya dengan mantap untuk masuk lebih dalam.

Kriet!

Pintu pun berderit saat Kelana membukanya lebih lebar. Tercium aroma debu dan langsung terhirup oleh hidungnya, membuat anak laki-laki itu bersin. Gudang ini banyak terdapat sarang laba-laba yang menghiasi tiap sudutnya, tampak sekali jarang dibersihkan.

Kelana melihat ada yang berkilauan tertutup kardus yang sudah mulai usang. Ia pun membuka kardus tersebut dan mendapatkan sebuah teko berwarna perak serta ada secuil kertas yang bertuliskan usap aku tiga kali di sampingnya. Dan setelah selesai usap aku sekali dengan cara kebalikannya.

Kelana pun mempraktikkannya, ia mengusap teko tersebut sebanyak tiga kali dan Walah ada sebuah lubang besar yang diciptakan oleh teko ajaib itu, tampak pemandangan hutan yang indah, Kelana memasukkan tangannya ke lubang tersebut dan mengambil sebuah kerikil di bawah pohon di seberang lubang itu. Ia kaget sekali, karena dapat menggapai dan mengambil kerikil tersebut.

[Apa ini, seperti lorong waktu kah ?] Kelana bergumam dalam hati dan langsung mengusap teko yang berkilauan itu sekali dan kali ini arahnya berbalik. Lubang tersebut pun langsung menutup kembali dengan cepat.

Tiba-tiba angin berembus dengan kencang melalui jendela dan meniupkan sehelai kain yang menutupi sesuatu di pojok ruangan gudang. Tampak sebuah sepeda terbuat dari kayu yang terlihat kokoh. Kelana segera menghampirinya. Ada ukiran burung phoenix di batang sepeda yang menghubungkan sadel dan setang.

“Waaah, sepeda yang bagus!” sedikit berteriak Kelana terkagum-kagum dengan penampakan yang berada di depannya.

Ia pun langsung menaiki kendaraan roda dua tersebut, dan bertambahlah keheranannya tatkala ia menyentuh ukiran burung phoenix sepeda tersebut melayang di udara seraya terbang, dengan sekuat tenaga Kelana berusaha mengendalikannya dan membuatnya seimbang sehingga ia tidak terjatuh.

Lambat laun Kelana bisa mengendarai sepeda tersebut dengan sangat baik. Hari sudah mulai malam, ia pun segera menutup jendela dan pintu gudang, hendak beristirahat.

Pagi hari pun tiba, setelah ia memberi sarapan pagi dan obat untuk Ibunda, dengan sangat hati-hati Kelana menceritakan kejadian kemarin yang membuatnya terkejut dan terheran-heran, ia pun hendak berpamitan kepada Ibu serta menitipkannya kepada Mesya yaitu anak dari pamannya alias saudara sepupunya. Kelana ingin mencari daun waru merah ( Hibiscus Tiliaceus ) yang diberitahukan oleh tabib untuk pengobatan Ibu dan itu berada di ujung hutan sebelah utara kerajaan Witaru. Nantinya daun itu akan ditumbuk kemudian direbus demi kesembuhan perempuan yang sangat dicintai oleh Ayah serta dirinya tersebut.

Mesya datang ke rumah Uwaknya, yaitu Ibu Surti dan Kelana menitipkan Ibunya tersebut dengan berat hati lalu berpamitan setelah mendapat restu sang Bunda.

Kemudian ia pergi ke gudang lagi, menggosok teko ajaibnya dan tiba-tiba ada pemandangan mengejutkan di seberang sana yang ditunjukkan teko tersebut, ia melihat kawanan serigala sedang mengepung seorang laki-laki dewasa dan anak remaja putri seusianya, ternyata laki-laki tersebut adalah Ayahnya. Langsung ia menaiki sepedanya dan terbang ke lorong yang diciptakan teko ajaib itu. Ia menerjang kawanan serigala itu dengan roda sepeda bagian belakangnya dengan gerakan berputar berkali-kali sehingga mengenai moncongnya dan akhirnya kawanan serigala itu pergi lari tunggang-langgang.

Ayah bercerita kalau ia sedang dalam perjalanan mengantar Puteri Sendayu untuk kembali pulang ke kerajaannya setelah belajar di kerajaan tetangga selama satu purnama. Dan ia pun menuturkan kalau teko itu didapatnya dari seorang nenek yang pernah ditolongnya sedangkan sepeda merupakan miliknya dari kakeknya Kelana.

Mereka akhirnya berangkat mencari daun waru merah bersama, dan mendapatkannya dengan susah payah karena berada di ujung jurang menggunakan sepeda terbang yang sudah menjadi milik Kelana. Puteri Sendayu pulang dengan selamat dan Ibu pun sembuh, keluarga Kelana kembali berkumpul dan berbahagia.

 Tasikmalaya, 9 Maret 2023.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Frasa Endosentris dalam Kehidupan Sehari-Hari

Mengenal Apa Itu Akreditasi?

Mentari di Balik Awan