I Wanna Be An Explorer
Sore hari, gemercik sungai mendayu-dayu, semilir angin
membuat udara sekitar tambah sejuk dibuatnya. Kelana sedang merawat Ibunya yang
terbaring lemah tak berdaya, Ibu Surti sudah dua minggu tergolek di ranjang
kayu beralaskan kasur kapuk yang sederhana.
Ayah sudah satu bulan lamanya belum kembali dari
tugasnya mengawal seorang puteri raja bernama Sendayu. Ayah Kelana yang bernama
Bapak Sakur memang seorang abdi di sebuah istana yang megah milik seorang Raja
yang arif, sang Baginda Raja Kedas di kerajaan Witaru.
Kelana dengan lemah lembut merawat Ibunda, sesekali ia
mengompres kening wanita yang telah melahirkannya dengan susah payah itu dengan
air hangat. Di samping ranjang ada meja yang penuh dengan obat-obatan herbal.
Anak laki-laki yang berperawakan tinggi dan mempunyai rambut ikal tersebut
memang telah memanggil seorang tabib dari desanya untuk memeriksa kondisi sang
ibu.
“Ibu, mari makan dahulu buburnya,” Ucap Kelana sambil memegang
mangkuk di tangannya dan bersiap menyuapi sang Bunda.
“Ma-afkan Ibu, ya Nak, kamu jadi repot seperti ini,”
ujar Ibu dengan terbata dan lemah.
Bibir Ibu Surti tampak pucat dan mengering, Kelana
tidak tega melihat keadaan Beliau.
“Tidak Ibu, sama sekali Kelana tidak merasa keberatan,
yang penting Ibu lekas sembuh,” doa teriring melalui mulut anak semata wayang
pasangan Ibu Surti dan Bapak Sakur itu.
Setelah selesai menyuapi ibunya bubur dan
meminumkannya obat, Kelana tiba-tiba teringat sesuatu. Ayahnya sebelum pergi
meninggalkan sepucuk surat untuknya, ia belum sempat membacanya karena lupa, ia
hanya menaruhnya di dalam lemari pakaiannya saja. Segera Kelana beranjak
setelah dilihatnya Ibu tengah tertidur pulas dan mengambil surat tersebut serta
langsung membacanya.
“Kelana anakku, Ayah berangkat pergi
bertugas dulu untuk menunaikan kewajiban sebagai punggawa istana. Ayah titip
Ibumu, jaga beliau dengan baik ya Nak, mengenai keinginanmu untuk menjelajahi
dunia, Ayah sangat mendukung dan mendoakan agar semuanya dipermudah oleh Gusti
Allah. Ayah punya sesuatu untukmu dan sudah lama disimpan di dalam gudang.
Kalau ada apa-apa dan mendesak sehingga engkau harus pergi jauh ke luar,
titipkanlah Ibumu kepada Mesya ya Nak. Dia anak yang baik, Ayah yakin dia bisa
dipercaya.” (Mesya adalah anak paman Kelana yang
bernama Ndaru dan telah terbiasa hidup seorang diri karena sudah lama ditinggal
oleh kedua orang tuanya karena kecelakaan). Begitu isi surat yang dibuat oleh
Ayah Kelana sebelum pergi. Kelana segera melipat surat tersebut dan bergegas menuju
gudang tua di sudut rumahnya yang sudah lama tidak ia sambangi.
Rasa penasaran berkecamuk di dada Kelana, kini ia
sudah berdiri di depan pintu gudang yang sedikit terbuka. Ia pun melangkahkan
kakinya dengan mantap untuk masuk lebih dalam.
Kriet!
Pintu pun berderit saat Kelana membukanya lebih lebar.
Tercium aroma debu dan langsung terhirup oleh hidungnya, membuat anak laki-laki
itu bersin. Gudang ini banyak terdapat sarang laba-laba yang menghiasi tiap
sudutnya, tampak sekali jarang dibersihkan.
Kelana melihat ada yang berkilauan tertutup kardus
yang sudah mulai usang. Ia pun membuka kardus tersebut dan mendapatkan sebuah
teko berwarna perak serta ada secuil kertas yang bertuliskan usap aku tiga kali
di sampingnya. Dan setelah selesai usap aku sekali dengan cara kebalikannya.
Kelana pun mempraktikkannya, ia mengusap teko tersebut
sebanyak tiga kali dan Walah ada sebuah lubang besar yang diciptakan oleh teko
ajaib itu, tampak pemandangan hutan yang indah, Kelana memasukkan tangannya ke
lubang tersebut dan mengambil sebuah kerikil di bawah pohon di seberang lubang
itu. Ia kaget sekali, karena dapat menggapai dan mengambil kerikil tersebut.
[Apa ini, seperti lorong waktu kah ?] Kelana bergumam
dalam hati dan langsung mengusap teko yang berkilauan itu sekali dan kali ini
arahnya berbalik. Lubang tersebut pun langsung menutup kembali dengan cepat.
Tiba-tiba angin berembus dengan kencang melalui
jendela dan meniupkan sehelai kain yang menutupi sesuatu di pojok ruangan
gudang. Tampak sebuah sepeda terbuat dari kayu yang terlihat kokoh. Kelana
segera menghampirinya. Ada ukiran burung phoenix di batang sepeda yang
menghubungkan sadel dan setang.
“Waaah, sepeda yang bagus!” sedikit berteriak Kelana
terkagum-kagum dengan penampakan yang berada di depannya.
Ia pun langsung menaiki kendaraan roda dua tersebut,
dan bertambahlah keheranannya tatkala ia menyentuh ukiran burung phoenix sepeda
tersebut melayang di udara seraya terbang, dengan sekuat tenaga Kelana berusaha
mengendalikannya dan membuatnya seimbang sehingga ia tidak terjatuh.
Lambat laun Kelana bisa mengendarai sepeda tersebut
dengan sangat baik. Hari sudah mulai malam, ia pun segera menutup jendela dan
pintu gudang, hendak beristirahat.
Pagi hari pun tiba, setelah ia memberi sarapan pagi
dan obat untuk Ibunda, dengan sangat hati-hati Kelana menceritakan kejadian
kemarin yang membuatnya terkejut dan terheran-heran, ia pun hendak berpamitan
kepada Ibu serta menitipkannya kepada Mesya yaitu anak dari pamannya alias
saudara sepupunya. Kelana ingin mencari daun waru merah ( Hibiscus Tiliaceus )
yang diberitahukan oleh tabib untuk pengobatan Ibu dan itu berada di ujung
hutan sebelah utara kerajaan Witaru. Nantinya daun itu akan ditumbuk kemudian
direbus demi kesembuhan perempuan yang sangat dicintai oleh Ayah serta dirinya
tersebut.
Mesya datang ke rumah Uwaknya, yaitu Ibu Surti dan
Kelana menitipkan Ibunya tersebut dengan berat hati lalu berpamitan setelah
mendapat restu sang Bunda.
Kemudian ia pergi ke gudang lagi, menggosok teko ajaibnya
dan tiba-tiba ada pemandangan mengejutkan di seberang sana yang ditunjukkan
teko tersebut, ia melihat kawanan serigala sedang mengepung seorang laki-laki
dewasa dan anak remaja putri seusianya, ternyata laki-laki tersebut adalah
Ayahnya. Langsung ia menaiki sepedanya dan terbang ke lorong yang diciptakan
teko ajaib itu. Ia menerjang kawanan serigala itu dengan roda sepeda bagian
belakangnya dengan gerakan berputar berkali-kali sehingga mengenai moncongnya
dan akhirnya kawanan serigala itu pergi lari tunggang-langgang.
Ayah bercerita kalau ia sedang dalam perjalanan mengantar
Puteri Sendayu untuk kembali pulang ke kerajaannya setelah belajar di kerajaan
tetangga selama satu purnama. Dan ia pun menuturkan kalau teko itu didapatnya
dari seorang nenek yang pernah ditolongnya sedangkan sepeda merupakan miliknya
dari kakeknya Kelana.
Mereka akhirnya berangkat mencari daun waru merah bersama, dan mendapatkannya dengan susah payah karena berada di ujung jurang menggunakan sepeda terbang yang sudah menjadi milik Kelana. Puteri Sendayu pulang dengan selamat dan Ibu pun sembuh, keluarga Kelana kembali berkumpul dan berbahagia.
Komentar
Posting Komentar